Membahas sesuka gue dan semau gue, yang penting gaya dulu filosofi mah belakangan

Di Depan Gerbang Sekolah

Rara menunggu, di depan pagar sekolahnya. Ia menunggu teman prianya sambil mengecek jam tangannya. Terik matahari menyengat sedari adzan dzuhur berkumandang, tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ia seorang disitu.

Tak lama berselang, muncul seorang pria berjualan rujak yang biasa mangkal di sebelah pagar sekolah. Pria itu datang dengan penuh semangat berjualan, karena hanya satu-satunya mata pencahariannya untuk menafkahi keluarga kecilnya. Seraya mempersiapkan dagangannya, pria tersebut menengok ke arah Rara, "neng, sedang apa dimari?" Rara yang daritadi mengecek detik demi detik jam tangannya menengok ke arah pria penjual rujak itu. "Lagi nunggu temen nih, mang."

"Loh, emang mau kemana neng?"

"Diajakin nonton di bioskop, mang"

Obrolan mereka berlanjut sambil pria tersebut membereskan pesanan seseorang yang muncul dari pesan singkat di telepon genggam miliknya. Rara menceritakan kalau ia dekat dengan teman prianya itu, usut punya usut mereka ternyata merupakan satu ekstrakulikuler. Pria penjual rujak tetap mampu menyimak apa yang dicurhatkan oleh Rara selagi melakukan pekerjaannya. Rara sendiri sepertinya juga sudah mempercayakan si penjual rujak akan ceritanya sendiri.

"Wah, memangnya sudah sejauh mana kedekatan kalian?"

"Kayaknya udah lebih dari 6 bulan, mang. Dia udah nunjukin ketertarikan sama saya."

"Kalau menurut neng Rara orangnya baik, sebaiknya dilanjutkan saja" pria penjual rujak itu mulai menasihati. "Gak ada salahnya kan untuk melangkah lebih jauh."

"Ah bisa aja nih, hehehe." Rara mulai tertawa, sedari lama ia menunggu bete dan mulutnya manyun kedepan. Pria penjual rujak mampu membuat Rara ceria kembali dengan lawakan ala bapak-bapak di grup perpesanan online. Dia pun  paham, bahwa menunggu itu sering membosankan, seperti menunggu calon pembeli membeli barang dagangannya.

"Btw in da busway, sudah punya keluarga belum mang?"

"Yaa sudah neng, emang kelihatan masih muda yaak?" Tampaknya si Rara tidak tahu kalau pria penjual rujak itu sudah memiliki seorang istri dan 2 orang anak.

"Pede bat dah mang, hahahaha."

Makin kesini, obrolan mereka semakin intens. Meski si penjual rujak melayani para pembelinya dengan santun, tetap saja mampu menanggapi celotehan Rara yang baru di mabuk asmara. Hingga melupakan ia sedang menunggu siapa, mereka tetap asyik bercanda tak kenal lelah. Suatu ketika Rara sadar bahwa teman prianya tak kunjung datang. Raut mukanya kembali menciut, ia langsung menelpon dengan nada kesal. Berharap ada angin segar agar segera menjemput Rara, ternyata teman prianya sedang dipanggil oleh Wakil Kepala Sekolah. Rara pun mulai berpikir aneh terhadap teman prianya itu. "Ahelah, ngapain daritadi gue lama nunggu disini?" Rara membatin. Ia bergumam mengungkapkan kekecewaannya dalam hati, matanya mulai sinis, dagunya naik dan hidungnya kempas-kempis pertanda ia merasa resah kepada teman prianya sendiri.

"Neng Rara kenapa? Mukanya kaku gitu kayak kanebo kering?" Pria penjual rujak bertanya penuh keheranan.

"Gapapa mang, capek daritadi saya nungguin gak dateng-dateng juga." Rara masih kesal dan sedikit bengis.

"Yaudah neng, ini ada sesuatu." Si pria penjual rujak mengambil sepotong pepaya dingin dagangannya, "siapa tahu bikin hati adem, neng."

"Iya mang, makasih yaa." Rara menjemput pepaya pemberian si penjual rujak dengan tangan kanannya, tangan kirinya masih mengenggam telpon genggam ala ibu-ibu sosialita. Rara mulai memakan per potong sedikit demi sedikit mengobati laranya, ia mulai merasakan pepaya di dalam mulut, menelan hingga kerongkongannya terasa dingin dan segar. Rara juga sudah melupakan kekesalannya walau hanya sejumput saja. Si pria penjual rujak tersenyum mesum melihat Rara kembali seperti sedia kala. Rara hanya mampu terdiam, semuanya sunyi sepi. Sampai akhirnya Rara memandangi si pria penjual rujak dengan penuh iba.

"Mang, terima kasih atas pepayanya."

"Iya neng, sama-sama. Tapi pepayanya gak gratis ya neng? WC umum aja bayar!" celetuknya dengan nada bercanda.

"Sa ae janggut Fir'aun!" Rara mulai membangkang dengan bahagia.

"Yeeeu, kaos kaki Maradona. Bayar dulu kayak anak SMP! (SMP = Setelah Makan Pulang, red)" umpatan si pria penjual rujak membawa derai tawa terbahak-bahak antar keduanya.

"Eh, mang" Rara mulai mencairkan suasana "kalau nanti saya lulus dan diterima kerja, saya mau kasih sesuatu deh."

"Wedeeh baik bener, neng Rara. Terima kasih banyak neng, gausah repot-repot. Pepaya tadi gratis kok buat neng Rara seorang." Si penjual rujak mulai berharap akan pemberian Rara nantinya. Rara minta didoakan selagi sempat sehabis sholat, si pria penjual rujak menyetujuinya. Hingga teman pria Rara sudah menunggu mengantarkan pulang ke rumahnya. Si pria penjual rujak itu melambaikan tangannya mengucapkan selamat jalan, mendoakan agar Rara dan teman prianya selamat sampai tujuan.

Namun, waktu terus berlalu. Rara dinyatakan lulus akademis bersama teman-temannya. Mereka bahagia dan bangga, mampu mencapai impian yang kenyataan. Setali tiga uang, Rara mendapatkan mahar pertamanya di tempat ia bekerja. Sebuah pencapaian terbaik dalam hidupnya, mampu menghasilkan sesuatu dengan jerih payahnya.

Enam tahun berselang pasca menyelesaikan misi akademisnya, janji bersama si penjual rujak diacuhkan. Hingga beliau sudah tidak mengais rezeki membuat Rara bingung tujuh keliling. Ia menanyakan kepada teman seangkatannya hingga teman adik kelas. Sungguh, Rara hampir saja melupakannya, namun sudah terlambat. Setidaknya, Rara masih mengingat memori di tempat persinggahan tawa dan candanya, di depan gerbang sekolah.

POSTED BY Abitd Muhtadin
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply

kalo komentar boleh yg asem asem aja, kalo pedes udah bosen

Diberdayakan oleh Blogger.